BUKU
Sepakbola dan Batu
Kamis, 07 Oktober 2010 - 14:24:56 WIB

Buku ini hadir dengan membawa perspektif baru dalam memandang konflik Israel versus Palestina, yang selama ini nyaris terabaikan: sepakbola.


 


DALAM banyak kasus, sepakbola menjadi identitas kolektif. Di lapangan, identitas etnis, ras, dan agama bisa memicu perkelahian pemain maupun penonton. Konflik antarnegara seringkali terbawa hingga ke lapangan sepakbola. Tapi di tanah Palestina, sepakbola justru gagal membentuk dan mengkristalisasi sentimen nasionalisme Palestina. Para bintang sepakbola Arab yang bermain di Liga Israel cenderung tak memperlihatkan identitas nasional.


“Kita tak akan melihat bendera Palestina di bangku-bangku suporter tim Arab,” tulis Tamir Sorek, penulis buku ini, yang berusaha mencermati sejarah persepakbolaan Arab-Palestina di wilayah yang diduduki Inggris, dan setelah itu Israel.


Sepakbola dibawa ke tanah Palestina oleh imigran Eropa keturunan Yahudi maupun non-Yahudi pada awal abad ke-20. Sejak awal, sepakbola menjadi olahraga populer yang dimainkan warga Arab maupun Yahudi. Bahkan sekolah-sekolah milik pemerintah Inggris memasukkan olahraga ini sebagai kegiatan siswa.


Pada 1921 pejabat pemerintahan Inggris mendirikan sebuah klub olahraga di Yerusalem yang mengikutsertakan warga Arab dan Yahudi, Organisasi Olahraga Zionis (Maccabi). Tak lama kemudian Maccabi mendirikan Asosiasi Sepakbola Palestina (PFA) untuk membangkitkan semangat orang-orang Yahudi dan menyokong gerakan Zionis. Mereka mengajukan PFA sebagai anggota badan sepakbola dunia (FIFA).


FIFA menolaknya. Alasannya, hanya organisasi olahraga yang mewakili satu negara secara utuh yang dapat diterima menjadi anggota. Maka pejabat-pejabat Maccabi pun dengan terpaksa mengikutsertakan musuh politik mereka, HaPoel, dan mengundang tim-tim Arab untuk bergabung dalam PFA. Tapi para petinggi Zionis bersikap setengah hati. Kebanyakan jabatan strategis di PFA diduduki pejabat dan pemain sepakbola Yahudi. Parahnya lagi, lagu kebangsaan yang dinyanyikan sebelum pertandingan adalah lagu kebangsaan Zionis, Hatikva, dan lagu kebangsaan Inggris God save The Quen.


Di Eropa sendiri, pada 1920-an, klub-klub Yahudi menjamur di kota-kota metropolitan: Budapest, Berlin, Praha, Innsbruck, dan Linz. Tim-tim Yahudi ini membawa nasionalisme mereka sendiri. Seperti ditulis Franklin Foer dalam Memahami Dunia Lewat Sepakbola, gerakan Yahudi percaya bahwa sepakbola dan olahraga pada umumnya akan membebaskan mereka dari kekerasan dan tirani anti-Semit. Mereka jauh lebih maju ketimbang tim Eropa lainnya, karena sudah merangkul pasar, menggaji mahal pemain, bahkan klub seperti Hoakiah menggelar tur keliling ke Amerika dan Timur Jauh. Tapi mereka juga menghadapi tantangan anti-Semit di Eropa sama beratnya dengan perlawanan warga Arab di “tanah yang dijanjikan Tuhan”, Palestina.


Tak mau jadi pemanis organisasi, pada 1934 warga Arab mendirikan organisasi sendiri, Asosiasi Olahraga Palestina (PSA). Organisasi ini menaungi berbagai nomor olahraga, termasuk sepakbola. Klub-klub sepakbola Arab mundur dari PFA dan bergabung dengan PSA. Sentimen nasionalisme pun merebak. Dalam berbagai pertandingan antarsekolah Arab, muncul simbol-simbol identitas nasionalisme semisal bendera Arab dan penamaan pemain yang mengikuti nama pahlawan dan pejuang Islam terkemuka seperti Khalid bin Walid dan Salahudin.


Perlawanan warga Arab pada 1936 membuat pemerintah kolonial Inggris membubarkan PSA. Ibarat anak ayam kehilangan induknya, nasib para atlet yang tergabung dalam PSA terkatung-katung. Akhirnya sejumlah tim sepakbola Arab kembali bergabung dengan PFA.


Pada 1944 PSA kembali dihidupkan. Konstitusi PSA yang baru secara eksplisit melarang keikutsertaan pemain Yahudi. “Kelihatannya sebagai pembalasan terhadap dominasi Zionis dalam PFA dan  sebagai ekses semakin memanasnya perselisihan di antara kedua kelompok ini,” tulis Sorek. Sepakbola Arab-Palestina sempat berada di puncak emas ketika sebanyak 10.000 penonton menyaksikan kemenangan Klub Olahraga Islam Jaffa atas Persekutuan Ortodoks Yahudi dengan skor 2-1. Kemenangan itu tak berarti apa-apa tanpa pengakuan internasional.


Setahun kemudian, PSA berusaha membangun hubungan internasional dengan mengirimkan sejumlah atlet Arab-Palestina dalam kompetisi di Yordania, Suriah, Libanon, Mesir, dan Iran. Namun upaya ini tersandung persoalan politik. PFA, sebagai afiliasi resmi FIFA di Palestina, mengeluarkan larangan bagi tim-tim nasional Arab bertanding dengan tim-tim PSA.


PSA terus berusaha. Pengurus organisasi ini meminta dukungan dari asosiasi-asosiasi olahraga negara tetangganya. Pada 1946, dibantu organisasi sepakbola dari Libanon dan Mesir, PSA mengajukan permohonan menjadi anggota FIFA, terpisah dari asosiasi sepakbola Israel. Sekali lagi, FIFA menolaknya.


Saat Perang Arab-Israel meletus pada 1948, dunia sepakbola Palestina mengalami masa suram. Tak ada infrastruktur olahraga yang tersisa pascaperang. Dan untuk masa-masa selanjutnya PFA memanfaatkan celah ini untuk membangun ketergantungan warga Arab-Palestina terhadap infrastruktur dan legitimasi organisasi milik kelompok Yahudi. Pada Olimpiade Montreal tahun 1976, seorang pemain sepakbola Arab menyita perhatian publik. Rifat Turk untuk kali pertama tampil bersama tim nasional Israel di panggung internasional.


Saat sepakbola berkembang menjadi industri bisnis, kebanyakan klub sepakbola Israel tak mempersoalkan identitas kewarganegaraan. Talenta dan skill lebih penting. Pada musim 1996-97, HaPoel Taibeh menjadi tim Arab pertama yang bermain di liga papan atas Israel. Dari segi bisnis, penjualan tiket untuk pertandingan tim Arab lebih banyak dibandingkan tim Yahudi.


Gerakan Intifadah hanya menghentikan kecenderungan itu sesaat. Pemain Arab sering mengisi tim nasional Israel seperti Najwan Ghayreb dan Walid Bdeir. Ghayreb mencetak gol pembuka saat tim nasional Israel menekuk Argentina 2-1.  Berbagai media Arab dengan bangga memberitakannya.


Namun betapapun hebat prestasi para pemain Arab-Palestina di klub-klub sepakbola maupun tim nasional Israel, sebagian besar warga Yahudi tetap menaruh sentimen negatif terhadap mereka. Bagai api dalam sekam; konflik bagaimanapun masih membara.


Keahlian menggocek bola pemain Palestina ternyata tak seampuh lemparan batu pejuang Palestina untuk memperjuangkan kemerdekaan tanah airnya. Sepakbola menjadi sisi lain dari kegagalan Palestina untuk mengakhiri konflik Palestina-Israel yang berkepanjangan. [JAY AKBAR]


Artikel terkait

Dibaca: 145 kali
2 Komentar :
anik elismawati

saya baru mengetahui kalau Palestina-Arab pernah bermain sepak bola dan menang, konflik palestina-israel tidak akan berakkhir karena hakekat dari perang itu sesungguhnya pengenyahan atas agama yang dianut oleh warga palestin, terimakasih atas kirimannya yang inspiratif.

Komentar Anda
Nama
E-mail
Komentar



Copyright © 2009 by majalah-historia.com. All Rights Reserved.